Seseorang berkata bahwa ketakutan, kekhawatiran, dan kecemasan adalah musuh terbesar kita. Baru-baru ini saya membaca sebuah cerita yang menarik: “Menurut sebuah legenda kuno, seorang lelaki petani yang suatu hari mengadakan perjalanan ke Konstantinopel dihentikan oleh seorang wanita tua, yang memintanya untuk menumpang. Dia membawanya duduk di sampingnya, dan saat mereka berkendara, dia menatap wanita itu, karena menjadi ketakutan, dan bertanya, ‘Siapa kamu?
Wanita tua itu menjawab, “Saya Kolera.
Karena ketakutan, petani itu memerintahkan wanita tua itu untuk turun dan berjalan kaki, tetapi wanita itu membujuknya untuk tetap membawanya, atas janjinya bahwa wanita itu tidak akan membunuh lebih dari lima orang di Konstantinopel. Sebagai ikrar janji, wanita itu menyerahkan belati kepadanya, mengatakan kepadanya bahwa itu adalah satu-satunya senjata yang dapat digunakan untuk membunuh diri wanita itu. Kemudian wanita itu menambahkan: “Aku akan bertemu denganmu dalam dua hari. Jika aku mengingkari janjiku, kau boleh menusukku.
“Di Konstantinopel 120 orang meninggal karena kolera. Pria marah yang mengantarnya ke kota itu, mencari wanita tersebut. Ketika dia menemukan wanita itu, dia mengangkat belati yang wanita itu berikan padanya untuk membunuhnya. Dia berteriak, ‘Kamu berjanji bahwa kamu tidak akan membunuh lebih dari lima orang, dan sekarang 120 orang mati?
“Tetapi wanita itu menghentikannya, dengan mengatakan: “Saya telah menepati perjanjian saya. Saya membunuh hanya lima orang. Ketakutanlah yang membunuh sisanya.”
Legenda ini adalah perumpamaan yang benar tentang kehidupan. Penyakit mungkin membunuh ribuan orang, tetapi ribuan lainnya mati karena diliputi rasa takut. Ketika kita melihat ke masa depan dengan rasa takut, mengharapkan yang terburuk lebih banyak daripada keyakinan mengharapkan yang terbaik, kita menjadi lumpuh karena kecemasan dan dilumpuhkan oleh kekhawatiran. Sejak kita dilahirkan sampai kita mati, ketakutan sering kali membayangi kehidupan kita. Ketakutan menghancurkan semangat kita, menghancurkan sistem kekebalan tubuh kita, melemahkan kemauan kita, dan membuat kita tidak berdaya dalam pertempuran melawan musuh. Ketakutan mencekik kegembiraan kita dan menghancurkan impian kita.
Ketakutan adalah emosi yang kuat, yang terkait erat dengan kecemasan dan kekhawatiran. Ini sering terjadi sebagai akibat dari beberapa ancaman, situasi, atau bahaya yang tampaknya tidak dapat dihindari. Satu hal yang kita pelajari dari COVID-19 adalah bagaimana tiba-tiba pandemi ini dapat menimbulkan ketakutan di hati seluruh bangsa. Orang-orang menjadi takut kepada setiap orang yang mereka temui mungkin membawa virus korona dan menginfeksi mereka. Setiap batuk menimbulkan kecemasan bahwa mereka mungkin terkena virus. Setiap kali mereka bersin, jantung mereka berdetak lebih kencang. Mereka terus-menerus bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya terkena virus? Dan jika ya, apakah itu hukuman mati saya?”
Berurusan dengan Ketakutan
Apakah yang bisa membebaskan kita dari ketakutan terburuk kita, atau mungkin lebih akurat untuk mengatakan siapakah yang bisa membebaskan kita dari ketakutan itu? Kitab Suci kuno dipenuhi dengan lebih dari 3.000 janji kasih dan perhatian Tuhan. Banyak janji Alkitab yang secara khusus menguatkan hati pada saat krisis. Berpegang teguh pada janji-janji Tuhan, kita dipenuhi dengan harapan saat menghadapi bencana. Kita menghadapi bencana dengan keyakinan di dalam Kristus, yang berdiri di sisi kita. Kita memiliki jaminan dari Dia yang berkata, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13: 5). Salah satu cerita besar Alkitab tentang mengatasi rasa takut terjadi dalam sebuah cerita yang sering terlupakan yang tersimpan di Perjanjian Lama Alkitab. Raja Siria telah mengepung Kota Dotan, Israel. Maksud raja adalah untuk menangkap Elisa. Setiap kali Raja Siria melakukan tindakan pertempuran, Nabi Elisa telah memperingatkan kapten pasukan Israel. Raja Siria sangat marah. Satu-satunya cara dia bisa memenangkan pertempuran adalah dengan menangkap dan membunuh Elisa. Dia membawa semua kekuatan di pasukannya yang perkasa untuk mengepung kota sehingga pelarian tidak mungkin dilakukan. Ketika hamba Elisa bangun pagi-pagi sekali dan melihat kota itu dikelilingi oleh pasukan musuh dengan ratusan kuda dan kereta, dia dihantui oleh ketakutan. Kekhawatiran memenuhi hatinya. Kematian sepertinya tidak terhindarkan. Dengan gemetar ketakutan, dia mendatangi Elisa. Dia begitu khawatir sehingga sulit untuk berbicara, tetapi akhirnya kata-katanya keluar: “Celaka tuanku! Apakah yang akan kita perbuat?” (2 Raja-raja 6: 15). Jawaban Elisa cukup klasik. Jawaban ini memberikan prinsip yang mengubah hidup bagi semua orang yang dicekam oleh rasa takut. Jawaban ini memberi kenyamanan bagi mereka yang diliputi oleh kekhawatiran dan kecemasan. Elisa hanya berkata, “Jangan takut, sebab lebih banyak yang menyertai kita dari pada yang menyertai mereka” (ayat 16). Meskipun situasi yang hampir mustahil, Tuhan masih memegang kendali. Dia masih di takhta-Nya. Dia memiliki solusi di mana tampaknya tidak ada solusi. Dia bisa membuat jalan di mana sepertinya tidak ada jalan.
Elisa berdoa agar hambanya yang masih muda itu melihat apa yang dilihatnya-bala tentara surga yang mengelilingi mereka, melindungi mereka, dan akhirnya membebaskan mereka. Secara ajaib Tuhan menyerang tentara Siria dengan kebutaan, dan Elisa serta hambanya melarikan diri. Tuhan memiliki seribu cara untuk membebaskan kita dari ketakutan terburuk kita. Jika mata kita terfokus pada masalah, ketakutan akan menguasai kita. Jika mata kita tertuju pada Yesus, emosi ketakutan mungkin masih ada, tetapi itu tidak akan melumpuhkan kita. Rasa takut tidak lagi mendominasi hidup kita.
Jawaban kepada rasa takut yang melumpuhkan bukanlah bahwa kita tidak akan pernah merasa takut-melainkan bahwa kita memiliki Seorang bersama kita dalam ketakutan kita, memperkuat kita untuk terus maju tidak peduli bagaimana perasaan kita. Kita memiliki Dia yang lebih besar dari ketakutan kita, lebih besar dari kekhawatiran kita, dan lebih besar dari kecemasan kita, di sisi kita, dan Dia memiliki solusi praktis, sederhana, dan nyata untuk masalah kita. Arti kehadiran Tuhan adalah penawar rasa takut. Kita diciptakan untuk hidup oleh iman, bukan diliputi oleh ketakutan kita. E. Stanley Jones, seorang pengkhotbah abad kedua puluh yang populer, pernah berkata, “Saya di dalam jiwa dibentuk bagi iman, bukan karena takut. Rasa takut bukanlah tanah air saya; melainkan iman. Saya dibuat sedemikian rupa sehingga kekhawatiran dan kecemasan adalah pasir dalam mesin kehidupan; iman adalah minyaknya. Saya hidup lebih baik dengan iman dan keyakinan daripada dengan rasa takut, keraguan, dan kecemasan. Dalam kecemasan dan kekhawatiran, keberadaan saya terengah-engah–ini bukanlah udara dari mana saya berasal. Namun dalam iman dan keyakinan, saya bernapas lega-ini adalah udara dari mana saya berasal.” Kita diciptakan untuk hidup dalam kepercayaan pada Dia yang menciptakan kita. Pandanglah dengan melampaui ketakutan Anda kepada Kristus, yang memedulikan Anda lebih dari yang pernah Anda ketahui.
Iman versus Ketakutan
Ada pemecah rasa takut lainnya yang ditemukan dalam sebuah cerita di badai lautan Galilea yang mengajarkan kita pentingnya iman, bukan rasa takut. Laut Galilea memiliki panjang sekitar 13 mil dan lebar delapan mil. Terkadang angin kencang bertiup masuk dan dengan cepat mengubah laut yang ta dinya tenang menjadi semburan amukan ombak. Saat muridmurid Yesus menyeberangi laut pada malam yang diterangi bintang, air tenang. Tiba-tiba awan hitam pekat memenuhi langit. Angin membuat ombak menjadi ‘marah? Ombak besar menghantam perahu. Injil Matius mengatakannya sebagai berikut: “Perahu murid-murid-Nya sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang-ambingkan gelombang, karena angin sakal. Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air” (Matius 14: 24, 25). Itu adalah antara pukul 03.00 pagi dan 06.00 pagi. Mereka mulai berlayar di sore hari. Mereka bisa saja berhasil menyeberangi laut dalam dua atau tiga jam, tetapi mereka berjuang melawan angin dan ombak selama delapan jam. Rupanya angin bertiup ke arah mereka, dan mereka tidak lebih dekat ke tujuan daripada saat mereka mulai berlayar. Mereka letih, lelah, dan lunglai. Mereka merasa tidak bisa bertempur lagi. Kekuatan mereka hilang. Ada saat-saat dalam hidup ketika pertempuran itu sengit. Badai mengamuk di sekitar kita, dan kita sangat lelah dengan pertempuran itu sehingga kita merasa kita tidak dapat berperang lagi. Di sinilah ada kabar baik yang luar biasa.
Di manakah Yesus selama peristiwa ini? Apa yang Dia lakukan selama pergumulan mereka? Dia berdoa untuk mereka. Dia meminta Bapa untuk meningkatkan iman mereka, memberi mereka kekuatan untuk menghadapi badai, memberi mereka keberanian untuk terus maju. Yesus tahu apa yang tidak mereka ketahui: salib akan datang, dan badai yang mereka alami sekarang akan meningkatkan iman mereka untuk apa yang akan terbentang di depan mereka. Dalam badai kehidupan yang kita hadapi setiap hari, Yesus sedang mempersiapkan kita untuk menghadapi krisis yang lebih besar yang akan melanda dunia kita di masa depan.
Para murid melihat badai; Yesus melihat mereka. Mata mereka tertuju pada ombak; Mata Yesus tertuju pada mereka. Bagi para murid semuanya tampak di luar kendali, tetapi Yesus masih memegang kendali. Di tengah badai kehidupan, mataNya tertuju pada kita. Ketika guntur menggelegar dan ombak tinggi, Dia masih kuat untuk menyelamatkan. Dalam kegelapan Dia adalah terang hidup kita.
Di ayat 25, 26 tulisan suci mengatakan, “Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air. Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: “Itu hantu!”, lalu berteriak-teriak karena takut.” Kata Yunani untuk “takut” yang diterjemahkan dalam ayat 26 adalah kata yang sangat kuat. Itu bisa lebih baik diterjemahkan dengan “ketakutan.” Inilah masalahnya. Para murid takut akan apa yang tidak mereka ketahui. Mereka melihat apa yang mereka pikirkan yaitu hantu. Kepercayaan pada roh jahat adalah hal biasa di Palestina pada abad pertama. Gagasan tentang hantu, goblin, dan ilusinya tersebar luas. Murid-murid ini telah menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama Yesus, tetapi ketika badai terjadi, ketakutan menguasai proses berpikir rasional mereka. Hal yang belum diketahui sering kali menimbulkan ketakutan, dan masalahnya adalah terkadang ketakutan terburuk kita menjadi kenyataan. Ada yang berkata, “Jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.” Tetapi Anda dan saya tahu bahwa semuanya mungkin tidak selalu menjadi seperti yang kita inginkan, jadi kita memainkan permainan yang disebut “bagaimana jika”: Bagaimana jika saya menderita kanker? Bagaimana saya akan menanganinya jika dokter saya memberi tahu saya bahwa saya harus segera memulai perawatan? Suami saya tidak ada di rumah untuk makan malam pada pukul 17.00, dan saat itu pukul 19.00, dan dia belum menelepon. Bagaimana jika dia mengalami kecelakaan? Perusahaan saya melakukan pemotongan pendapatan besar-besaran. Bagaimana jika saya kehilangan pekerjaan dan tidak dapat membayar tagihan saya? Putra remaja saya sedang dalam perjalanan berkemah. Sudah tiga hari, dan dia belum menelepon. Bagaimana jika dia tersesat di pegunungan?
Pertanyaan “bagaimana jika” harus memberi jalan kepada suara Kristus, yang menyatakan di tengah amukan laut, angin yang bertiup, dan kegelapan yang luar biasa, yaitu “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (ayat 27). Apakah Anda pernah menghitung berapa kali Yesus berkata, “Tenanglah”? Di seluruh Injil Yesus menggunakan ungkapan “Tenanglah” dan “Jangan takut” berulang kali.
Yesus adalah jawaban atas ketakutan luar biasa yang menghabiskan energi kita, merampas sukacita kita, dan merusak kesehatan kita. Ketakutan harus digantikan oleh iman saat kita menyesuaikan fokus kita. Ketakutan adalah emosi. Kita tidak bisa serta merta mengendalikan emosi kita. Emosi datang dan pergi. Emosi itu sering tiba-tiba menyapu kita. Iman adalah sikap. Iman adalah percaya kepada Tuhan sebagai sahabat karib, dengan memercayai bahwa Dia mengasihi kita dan tidak akan pernah menyakiti kita.
Ilustrasi Pribadi
Izinkan saya memberikan ilustrasi yang sangat pribadi mengenai kepercayaan. Saat itu adalah perlu bagi saya mendapatkan perawatan medis untuk kondisi tertentu yang saya hadapi. Salah satu perawatan yang direkomendasikan oleh tim medis saya adalah oksigen hiperbarik. Ini mengharuskan saya ditempatkan di ruang oksigen hiperbarik selama sekitar dua jam per hari untuk 35 hingga 40 perawatan. Ketika pemilik klinik menjelaskan pengobatannya kepada saya, dia berkata bahwa masalah yang dialami banyak orang saat masuk ke ruangan ini bukanlah klaustrofobia; melainkan kepercayaan. Setelah Anda ditempatkan di dalam ruangan, tidak mungkin Anda bisa keluar sendirian. Anda harus memiliki keyakinan mutlak bahwa operator ruangan akan mengeluarkan Anda setelah perawatan Anda selesai. Jika Anda memercayai operator tersebut, Anda akan baik-baik saja. Ketika saya memasuki ruang oksigen hiperbarik itu, saya menaruh kepercayaan pada teknisi medis tersebut. Saya tidak takut, karena saya percaya pada orang yang mengoperasikan mesin itu. Saya yakin orang yang bertanggung jawab tahu apa yang dia lakukan. Saat kita memasuki pengalaman untuk mencoba sesuatu, saat ketakutan muncul, saat kecemasan mengancam sukacita kita, kita dapat memiliki kepercayaan mutlak di dalam Kristus. Dialah yang bertanggung jawab, dan Dia tahu apa yang Dia lakukan.
Jawaban atas ketakutan dalam hidup kita adalah imaniman bahwa Yesus ada di sana dalam badai kehidupan dan akan membawa kita melewati situasi apa pun dan membawa kita keluar dari sisi lain. Ketakutan adalah emosi. Iman adalah sikap, dan fokus adalah pilihan.
Petrus tidak membiarkan ketakutannya membanjiri imannya sehingga dia kehilangan fokus. Di tengah badai dan ombak yang mengamuk, Petrus berseru kepada Yesus,: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air” (ayat 28). Iman menuntun kita keluar dari perahu. Iman menuntun kita untuk berjalan di lautan badai bersama Yesus. Iman menuntun kita untuk menghadapi angin dan hujan dengan mata kita tertuju pada Penguasa angin dan Tuhan bagi langit dan bumi. Iman mengalahkan rasa takut. Kepercayaan dapat menang di atas cobaan kita. Iman mengatasi rintangan di jalan kita dan memungkinkan kita untuk berjalan di lautan badai bersama Yesus.
Yesus menjawab permintaan Petrus dengan satu kata: “Datanglah” (ayat 29). Yesus tidak pernah berkata, “Pergi sana.” Yesus tidak pernah berkata, “Kamu harus hadapi sendiri.” Yesus tidak pernah berkata, “Itu masalahmu, bukan masalahKu.” Yesus tidak pernah berkata, “Berhentilah menggangguKu dengan hal itu. Aku punya cukup banyak masalah besar untuk ditangani di dunia ini.”
Yesus berkata datanglah … keluarlah dari perahu itu. Datanglah dengan iman dan berjalanlah di atas air. Ayo datang, lengan-Ku kuat. Anda tidak akan tenggelam. Petrus menang gapi undangan Kristus dan keluar dari perahu. Dia memberanikan diri keluar ke tempat yang tidak diketahui bersama Kristus. Dia menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam rahang kematian. Di hadapan angin yang menggelora, Petrus tidak membiarkan ketakutannya melumpuhkannya. Apakah ketakutan terbesar Anda? Apakah yang paling Anda khawatirkan? Kristus lebih besar dari ketakutan kita. Dia lebih besar dari keraguan kita. Dia lebih besar dari pertanyaan kita. Dia mengundang kita untuk datang kepada-Nya di lautan badai kehi dupan.
Ketika Petrus terus menatap Yesus, dia berjalan di atas air, tetapi sesuatu terjadi padanya yang sering terjadi pada kita dalam badai kehidupan. Petrus kehilangan fokus. Ayat 30 menambahkan: “Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia …” Ketika Petrus terus menatap Kristus dan memercayai firman-Nya, dia dapat berjalan di atas air. Ketika dia fokus pada ombak dan situasi berbahaya yang dia hadapi, dia tenggelam. Apakah kita melihat kesulitan kita dari perspektif duniawi dengan akal dan kelemahan manusiawi kita, atau kita melihat melalui mata iman pada janji-janji Tuhan.
Ketika kita dikuasai oleh rasa takut, kita tenggelam, dan tenggelamnya jiwa kita, adalah hasil dari tenggelamnya iman kita. Kita takut saat kita lupa. Ketika Petrus mulai tenggelam di bawah badai laut, hanya ada satu hal yang menyelamatkannya. Itu bukan keahliannya sebagai nelayan berpengalaman. Itu bukanlah pengetahuannya tentang Laut Galilea. Bukanlah kebijaksanaannya dalam memecahkan masalah. Bukanlah kemampuannya untuk berenang kembali ke perahu. Saat Petrus mulai tenggelam, dia berteriak, “Tuhan, tolonglah aku!” (ayat 30).
Matius: Seorang Saksi Mata dari Mukjizat
Matius adalah saksi mata dari keajaiban ini. Dia menulis dari pengalamannya langsung. Matius sedang berada di perahu menyaksikan seluruh adegan itu terjadi. Dia menulis, “Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” (Matius 14: 31). Ketika Petrus berteriak, Yesus segera menjawab. Yesus ada di sana dalam badai kehidupan. Dia ada di sana saat ombak tinggi, dan malam gelap.
Apakah Anda menyadari di bagian ini ada dua teriakan? Teriakan ketakutan dan teriakan iman. Ketika para murid melihat apa yang mereka yakini sebagai penampakan hantu, menurut ayat 26 mereka berteriak ketakutan. Ketika Petrus tenggelam dalam ombak, dia berteriak dengan iman.
Kita dapat memiliki keyakinan mutlak bahwa Yesus tidak pernah berpaling dari mereka yang berseru dalam iman. Tangan-Nya kuat untuk menopang kita. Daud menggambarkan hal ini dengan indah dalam Mazmur: “Sekarang aku tahu, bahwa TUHAN memberi kemenangan kepada orang yang diurapi-Nya … dengan kemenangan yang gilang-gemilang oleh tangan kanan-Nya (Mazmur 20: 7). Kita aman di tangan Yesus.
Sekarang, perhatikan apa yang Yesus tidak katakan kepada Petrus. Dia tidak berkata, “Petrus, di manakah imanmu?” atau “Petrus, Anda tidak memiliki iman” Dia berkata, “Hai orang yang kurang percaya” (Matius 14:31). Sedikit iman lebih baik daripada tidak ada iman. Itu mengingatkan saya pada pernyataan Yesus dalam Matius 17:20: “Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini”-gunung kesulitan, gunung masalah, gunung kekacauan–“Pindah … maka gunung ini akan pindah.” Ketika kita mempraktikkan sedikit iman yang kita miliki, iman kita itu, dalam kuasa Kristus yang membawa kita melewati badai kehidupan, akan bertumbuh menjadi kekuatan yang kuat, yang memungkinkan kita untuk berjalan di atas lautan badai tantangan hidup.
Perhatikan hal ini: Petrus memiliki cukup iman untuk keluar dari perahu, tetapi tidak cukup iman untuk melewati badai. Yesus sering membiarkan badai kehidupan bertiup di atas kita untuk meningkatkan iman kita. Jika kita lebih percaya, kita tidak akan menjadi ragu-ragu. Pekerjaan iman adalah untuk menyelesaikan keraguan kita, jadi kita menempatkan kepercayaan kita pada Kristus dan hanya Kristus.
Apakah kita diliputi rasa takut atau dipenuhi dengan harapan, semuanya tergantung ke mana kita mencari. Jika kita melihat masalah kita atau masalah dunia ini, hati kita akan dipenuhi rasa takut. Yesus berkata, “pandanglah ke atas.” Mengapa? Ketika kita melihat ke tempat kudus surga, kita melihat Yesus dan akan menemukan kekuatan dalam janji-janjiNya. Di dalam Kristus kita menemukan keyakinan. Di dalam Kristus kita mengalami kepastian. Di dalam Kristus kita diangkat di atas ketidakpastian dan kekhawatiran hidup, dan hati kita dipenuhi dengan rasa aman di dalam Dia yang mengasihi kita dengan kasih kekal, abadi, tidak terduga, tanpa lelah, tanpa akhir.
Memercayai Janji Tuhan
Alkitab mengatakan “jangan takut” berulang kali. Meskipun saya secara pribadi belum menghitung berapa kali Alkitab menggunakan ungkapan ini, seorang penulis telah menghitung 365 kali bahwa “jangan takut” atau ungkapan serupa digunakan di seluruh Alkitab-yaitu berarti satu untuk setiap hari sepanjang tahun. Tuhan mengatur seluruh tahun kalender. Dia mengundang kita untuk bersandar dalam kasihNya, percaya pada anugerah-Nya, dan bersukacita dalam kuasa-Nya.
Dalam salah satu janji Alkitab yang paling meyakinkan, Yesaya mendorong kita dengan menggemakan kata-kata Tuhan kita: “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau.” Mengapa kita tidak takut? Yesus bersama kita. Apa pun yang harus kita lalui, Dia ada di sisi kita. “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan” (Yesaya 41: 10). Ketika kita melihat kesakitan dan penderitaan dan penyakit di sekitar kita, kita tidak perlu takut, karena Yesus menyertai kita. Di awal kitab Yesaya, Firman yang diilhami itu menyatakan, “Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!” (Yesaya 35: 4). Mengapa kita tidak perlu takut? Alasan kita tidak takut bukanlah karena kita yakin kita tidak akan pernah sakit. Kita bebas dari rasa takut yang melumpuhkan karena kita percaya bahwa apa pun keadaan kita, Kristus akan menyertai kita. Anda ingat bahwa Ayub mengalami penyakit sampar yang mengerikan yang sangat menimpa tubuhnya. Selama penderitaannya dia berseru dengan yakin, “Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah” (Ayub 19: 25, 26). Ayub memiliki kepastian mutlak bahwa hari yang lebih baik akan datang dan bahwa suatu hari dia akan bertemu Tuhan muka dengan muka. Sampai saat itu tiba, dengan harapan dan jaminan dia berseru, “Meskipun Dia membunuhku, namun aku an percaya pada-Nya” (Ayub 13: 15, KJV). Ayub menjalani kehidupan yang penuh percaya kepada Tuhan yang berjanji bahwa akan bersamanya setiap saat sepanjang hari dan yang berjanji kepadanya bahwa hari esok yang lebih baik akan datang. Bahkan jika kita sedang mengidap penyakit yang mengan
cam jiwa, iman kita tetap berpegang pada janji-Nya bahwa suatu hari Yesus akan datang kembali untuk membawa kita pulang. Seperti Ayub, kita percaya bahwa suatu hari kita akan bertemu Dia muka dengan muka. Yesus mengucapkan katakata yang meyakinkan ini kepada kita: “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke si tu untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada” (Yohanes 14: 1-3). Pada suatu hari Yesus akan datang kembali. Dan pada hari yang indah itu kita akan diangkat ke awan di langit untuk bertemu Dia di udara. Penyakit dan penderitaan akan dimusnahkan selamanya. Penyakit dan kematian akan dimusnahkan di hadapan Tuhan kita yang penuh kasih.
Salah satu alasan utama kita tidak hidup dalam ketakutan adalah karena kita mengetahui akhir segala sesuatu ini. Kita tahu bahwa penyakit tidak akan memiliki kata terakhir: Namun Kristus memilikinya. Kita tahu virus korona, atau virus lainnya, bencana alam, malapetaka, atau perang nuklir, tidak akan menghancurkan semua kehidupan di Planet Bumi. Kita memiliki janji kedatangan Yesus kembali. Kita melihat kelaparan. Kita melihat gempa bumi. Kita melihat kesulitan negara. Kita melihat munculnya perang nuklir. Kita melihat potensi bencana nuklir. Kita melihat perubahan iklim. Kita melihat penyakit sampar merenggut nyawa ribuan orang.
Kita melihat hal-hal ini, tetapi kita memiliki harapan yang memungkinkan kita untuk terus maju di masa-masa sulit kehidupan. Ada rasa percaya diri yang membawa kita melalui hal-hal ini, karena kita telah membaca pasal-pasal terakhir dari Alkitab. Kita tahu bagaimana ceritanya berakhir. Dalam Wahyu 21: 4, 5 Yohanes menulis, “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu. la yang duduk di atas takhta itu berkata: ‘Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Kita percaya pada pengharapan yang diberkati dalam Titus 2: 13 bahwa Kristus akan datang kembali. Jadi kita dapat melihat melampaui hal yang terjadi saat ini kepada hal yang akan terjadi. Kita dapat melihat melampaui hari ini kepada hari esok. Kita dapat melihat melampaui penyakit saat ini kepada kesehatan sejati. Kita dapat melihat melampaui penyakit sampar yang dibawa melalui udara kepada udara murni di mana tidak akan ada lagi sampar.
Tuhan memiliki tujuan untuk mengizinkan bencana-bencana ini terjadi. Dia memanggil kita untuk bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Dia mengungkapkan kepada kita bahwa tidak ada kepastian di dunia tempat kita tinggal ini. Kristus adalah jaminan kita. Dia adalah keamanan kita. Dia adalah Juruselamat kita, Penebus kita, Pembebas kita, Raja kita yang akan datang. Apakah yang dilakukan virus ini ketika kita melihatnya menyebar begitu cepat? Virus itu memanggil kita untuk sadar. Dunia ini tidaklah segalanya seperti sebagaimana adanya. Kristus berbicara kepada Anda dan saya. Hidup kita rapuh. Kita masing-masing hidup di dalam tubuh duniawi yang rapuh. Namun di luar itu, masih ada sesuatu yang lebih baik lagi yang akan datang-dan itu adalah kemuliaan Kristus. Ada sesuatu yang layak untuk dialami di luar kehidupan saat ini, dan itu adalah Yesus Kristus. Izinkan Dia mengisi hati Anda, untuk menyingkirkan ketakutan Anda, memperkuat tekad Anda, dan mempersiapkan Anda untuk kedatangan-Nya yang segera.
Penulis : Mark Finley
Beliau pernah menjadi pembicara dan Direktur It Is Written. Telah menulis lebih dari 70 buku dan telah berkeliling dunia sebagai evangelis international.
Terima kasih buat pekabaran lewat buku Dr. Mark Finley. Jadi berkat buat pembaca.
Hanya sekedar membagikan saja Pak Pdt, semoga menjadi berkat bagi yang membacanya. Tuhan memberkati