Semua mata tertuju ke atas gunung. Puncaknya ditutupi asap tebal, makin lama makin gelap, merayap serta menyelimuti semua gunung dalam misteri. Kilat menyambar dalam kegelapan, guntur sambung menyambung. “Gunung Sinai ditutupi seluruhnya dengan asap, karena Tuhan turun ke atasnya dalam api; asapnya membubung seperti asap dari dapur, dan seluruh gunung itu gemetar sangat. Bunyi sangkakala kian lama kian keras” (Kel. 19:18, 19). Begitu dahsyat pernyataan kemuliaan hadirat Tuhan sehingga seluruh bangsa Israel gemetar.
Tiba-tiba guntur dan terompet berhenti, keheningan yang mencengkam terasa. Lalu Tuhan berbicara dari tengah-tengah kabut tebal itu, yang mengelilingi-Nya ketika Dia berdiri di atas bukit. Digerakkan oleh kasih yang sangat dalam terhadap umat-Nya, Ia mengumumkan Sepuluh Hukum. Musa pun berkata: “Tuhan datang dari Sinai… dan dating dari tengah-tengah puluhan ribu orang yang kudus; di sebelah kanan-Nya tampak kepada mereka api yang menyala. Sungguh Ia mengasihi umat-Nya; semua orang-Nya yang kudus—di dalam tangan-Mulah mereka, pada kaki-Mulah mereka duduk, menangkap sesuatu dari firman-Mu” (Ul. 33:2, 3).
Waktu Ia menyampaikan hukum di atas Bukit Sinai Allah tidak hanya menyatakan diri-Nya sendiri sebagai penguasa tertinggi dan dahsyat atas semesta alam. Ia juga menggambarkan diri-Nya sebagai penebus umat-Nya (Kel. 20:2). Hal ini dilakukan karena Ia Juruselamat yang telah memanggil bukan saja bangsa Israel tetapi juga semua manusia (Pkh. 12:13) untuk menuruti kesepuluh ajaran yang singkat, luas dan mencakup tanggung jawab umat manusia terhadap Allah dan sesamanya.
Dan Tuhan Allah berkata: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku.
“Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu, dengan sembarangan, sebab Tuhan akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan.
“Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: ‘Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki,
atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu.’”
“Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya.
“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu.
“Jangan membunuh.
“Jangan berzinah.
“Jangan mencuri.
“Jangan mengucapkan saksi dusta tentangsesamamu.
“Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu” (Kel. 20:3-17).
SIFAT HUKUM ITU
Sebagai pantulan tabiat Allah, Sepuluh Hukum merupakan hukum moral, rohani, luas dan lengkap, mengandung prinsip-prinsip yang universal.
Pantulan Tabiat Pemberi Hukum itu. Kitab Suci memperlihatkan ciri-ciri Allah di dalam hukum-Nya. Sebagaimana Tuhan Allah, “Taurat Tuhan itu sempurna” dan “perintah Tuhan itu murni” (Mzm. 19:8, 9). “Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik” (Rm. 7:12).
“Dan segala perintah-Mu adalah benar. Sejak dahulu aku tahu dari peringatan-peringatan-Mu, bahwa Engkau telah menetapkannya untuk selama-lamanya” (Mzm. 119:151,
152). Sesungguhnya, “segala perintah-Mu benar” (Mzm. 119:172).
Hukum Moral. Sepuluh hukum yang diberikan Tuhan menjelaskan pola tingkah laku Tuhan bagi umat manusia. Hukum itu memberikan penjelasan mengenai hubungan kita dengan Pencipta dan Penebus serta tanggung jawab kita kepada sesama. Kitab Suci mengatakan bahwa pelanggaran atas hukum Tuhan adalah dosa (1 Yoh. 3:4).
Hukum Rohani. “Bahwa hukum Taurat adalah rohani” (Rm. 7:14). Oleh karena itu, hanya orang-orang yang rohani dan yang memiliki buah Roh dapat menurutinya (Yoh. 15:4; Gal. 5:22, 23). Roh Allah yang membuat kita mampu melakukan kehendak-Nya (Kis. 1:8; Mzm. 51:11-13). Dengan tetap tinggal di dalam Kristus, kita menerima kuasa yang kita perlukan agar berbuah demi kemuliaan-Nya (Yoh. 15:5).
Hukum-hukum manusia ditujukan hanya kepada perbuatan-perbuatan yang jelas-jelas nyata. Akan tetapi Sepuluh Hukum “luas sekali” (Mzm. 119:96), menyentuh sampai ke pikiran kita yang paling dalam, menyentuh keinginan-keinginan kita, dan juga perasaan seperti rasa cemburu, iri hati, nafsu dan ambisi.
Di dalam Khotbah di Atas Bukit, Yesus menekankan dimensi rohani hukum itu, menyatakan bahwa pelanggaran bermula di dalam hati (Mat. 5:21, 22, 27, 28; Mrk. 7:21-23).
Hukum yang Positif. Sepuluh Hukum lebih dari sekadar satu rangkaian larangan; di dalamnya dikandung prinsip yang amat luas jangkauannya. Yang dicakupnya bukan saja hal-hal yang tidak boleh kita lakukan, tetapi juga apa yang seharusnya kita lakukan. Kita tidak boleh hanya menghindari dari perbuatanperbuatan yang jahat dan pikiran-pikiran yang buruk; kita harus belajar menggunakan
talenta dan karunia yang telah diberikan Tuhan kepada kita untuk tujuan yang baik. Oleh karena itu, setiap perintah yang negatif mempunyai dimensi yang positif.
Sekadar contoh, misalnya hukum keenam berbunyi “Jangan membunuh,” memiliki sisi positif bahwa “Kau harus meningkatkan hidup.” “Kehendak Allah bagi umat-Nya ialah, para pengikut itu meningkatkan segala segi yang baik dan kebahagiaan setiap orang yang berada di bawah dan lingkungan pengaruh mereka. Di dalam makna yang sangat dalam bahwa perintah injil—kabar baik akan keselamatan dan kehidupan kekal di dalam Kristus Yesus—terletak pada prinsip positif yang terdapat dalam hukum keenam.”1
Hukum yang sepuluh itu janganlah dipandang “sedapat-dapatnya dari sudut larangan, sebagaimana juga dari sudut kemurahan. Larangan- larangan itu justru merupakan jaminan kebahagiaan dalam penurutan. Kalau diterima dalam Kristus, maka ia akan bekerja di dalam diri kita untuk memurnikan tabiat yang mendatangkan kegembiraan kepada kita sepanjang abad kekekalan. Kepada yang menurut hukum, hal itu menjadi tembok pelindung. Di dalamnya akan kita lihat kebaikan Tuhan, yang dengan menyatakan kepada manusia prinsip kebenaran yang tidak berubah-ubah, akan melindungi mereka dari yang jahat karena pelanggaran.”2
Hukum yang Sederhana. Sepuluh Hukum sangat jelas di dalam keluasannya yang sederhana.
Hukum-hukum itu memang singkat sehingga seorang anak kecil pun dapat dengan mudah menghafalkannya, namun jangkauannya begitu luas sehingga dicakupnyasetiap dosa yang mungkin.
“Tidak ada misteri dalam hukum Allah. Semua dapat memahami kebenaran-kebenaran yang agung yang terdapat di dalamnya. Pikiran yang paling lemah sekalipun dapat menangkap aturan-aturan ini; yang paling tidak berpengetahuan sekalipun dapat mengatur hidup dan membentuk tabiat yang sesuai dengan ukuran Ilahi.”3
Hukum Asas. Sepuluh Hukum adalah ikhtisar semua asas atau prinsip—yang berlaku pada semua manusia dari segala waktu. Alkitab berkata, “Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang” (Pkh. 12:13).
Dekalog—Dasa Firman, atau Sepuluh Hukum (Kel. 34:28) — berisi atau terdiri dari dua bagian, ditunjukkan dengan adanya dua loh batu yang berisi tulisan tangan Allah (Ul. 4:13). Pertama, empat hukum yang pertama mengatur tanggung jawab kita terhadap Pencipta dan Penebus, sedangkan yang terakhir yang terdiri dari enam hukum mengatur tanggung jawab kita terhadap sesama.4
Kedua bagian ini diambil dari dua asas fundamental yang agung dari hal kasih yang merupakan landasan berlangsungnya kerajaan Allah: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri.” (Luk. 10:27; bandingkan Ul. 6:4, 5; Im. 19:18). Barangsiapa yang menghayati prinsip-prinsip ini maka ia akan selaras dengan Sepuluh Hukum, karena perintah itu mengungkapkan asas-asas ini dengan rinci sekali.
Hukum yang pertama menyatakan secara langsung perbaktian hanya kepada satu Tuhan saja. Kedua menyatakan supaya jangan menyembah ilah.5 Hukum yang ketiga melarang sikap sembarangan dan bersumpah palsu dengan menggunakan nama Tuhan. Hukum yang keempat mengatakan supaya menyucikan Sabat dan merupakan ciri-ciri Allah yang benar selaku Pencipta langit dan bumi.
Hukum yang kelima mengharuskan anakanak tunduk kepada orang tua mereka sebagai yang diangkat Tuhan untuk meneruskan penyataan kehendak-Nya kepada generasi berikutnya (baca Ul. 4:6-9; 6:1-7). Yang keenam merupakan hukum yang melindungi hidup sebagai kehidupan yang kudus. Yang
ketujuh menjaga kesucian dan kemurnian hubungan perkawinan. Yang kedelapan adalah hukum yang melindungi harta milik. Yang kesembilan untuk menjaga agar tetap benar dan membuang dusta. Sedangkan yang kesepuluh ditujukan kepada akar semua hubungan manusia dengan melarang orang menginginkan kepunyaan orang lain.6
Hukum yang Unik. Sepuluh Hukum tentulah merupakan hukum yang unik dan tegas yang diucapkan Tuhan dengan nyaring kepada seluruh bangsa (U1. 5:22).Hukum ini tidak dipercayakan Tuhan kepada pikiran yang mudah lupa, oleh karena itu Tuhan mengukirnya dengan jari-Nya sendiri di atas dua loh batu supaya dapat disimpan di dalam tabut di bait Allah (Kel. 31:18; Ul. 10:2).
Untuk membantu bangsa Israel menerapkan hukum-hukum itu, Allah memberikan hukum tambahan yang lebih rinci kepada mereka yang mengatur hubungan mereka kepada-Nya dan kepada masing-masing mereka. Beberapa dari antara undang-undang tambahan ini berfokus pada undang-undang warga sipil bangsa Israel (hukum sipil), sementara yang lain mengatur upacara-upacara pelayanan di bait Allah (hukum keupacaraan). Tuhan Allah menyampaikan hukumhukum tambahan ini kepada umat dengan perantaraan Musa yang kemudian menuliskannya dalam “buku hukum,” dan menempatkannya
di samping “tabut perjanjian” (Ul.31:25, 26)— tidak di dalam tabut sebagaimana dilakukannya dengan penyataan tertinggi Allah, yakni Sepuluh Hukum itu. Hukum-hukum tambahan ini dikenal sebagai “kitab hukum Musa” (Yos. 8:31; Neh. 8:1; 2 Taw. 25:4) atau dengan “Hukum Musa” (2 Raj. 23:25; 2 Taw. 23:18).7
Hukum yang Menyenangkan. Hukum Tuhan itu merupakan inspirasi bagi jiwa. Penulis Mazmur berkata, “Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari.” “Itulah sebabnya aku mencintai perintah- perintah-Mu lebih daripada emas, bahkan daripada emas tua.” Walaupun apabila “aku
ditimpa kesesakan dan kesusahan,” katanya lebih lanjut, “tetapi perintah-perintah-Mu menjadi kesukaanku” (Mzm. 119:97, 127,143). Kepada barangsiapa yang mengasihi Allah, “Perintah-perintah-Nya itu tidak berat” (1 Yoh. 5:3). Para pelanggar yang menganggap hukum itu sebagai kuk yang menyusahkan, karena pikiran yang penuh dengan dosa “tidak takluk kepada hukum Allah; hal inimemang tidak mungkin baginya” (Rm. 8:7).
Referensi :
1. Holbrook, “What God’s Law Means to Me,” Adventist Review, 15 Januari 1987, hlm. 16.
2. White, Selected Messages, buku 1, hlm. 235.
3. Ibid., hlm. 218.
4. Bnd Pengakuan Iman Westminster, 1647 TM, bab XIX, dalam Philip Schaff, The Creeds of Christendom, jilid 3, hlm. 640-644.
5. Lihat Taylor G. Bunch, The Ten Commandments (Washington, D.C.: Review and Herald, 1944), hlm. 35, 36.
6. ‘Ten Commandments,” SDA Bible Dictionary, edisi revisi, hlm. 1106.
7. Hukum Musa dapat juga dirujuk kepada satu bagian Perjanjian Lama yang disebut Pentateukh—lima buku pertama dari Alkitab (Luk. 24:44; Kis. 28:23).
Sumber : Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh Sedunia, Departemen Kependetaan, Apa yang Perlu Anda Ketahui Tentang….28 Uraian Doktrin Dasar Alkitabiah. Bandung : Indonesia Publishing House, 2006