Sekolah Sabat Pelajaran Ke-5
Hari Sabat, 23 April 2022
Bacalah untuk Pelajaran Pekan Ini
Kej. 9: 18-11: 9, Luk. 10: 1, Mat. 1: 1-17, Luk. 1: 26-33, Mzm. 139: 7-12, Kej. 1: 28, Kej. 9: 1.
Ayat Hafalan “Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi” (Kejadian 11:9).
Setelah Air Bah, kisah alkitabiah bergeser dari fokus pada satu individu, Nuh, kepada tiga putranya, “Sem, Ham, dan Yafet.” Perhatian khusus pada Ham, ayah Kanaan (Kej. 10: 6, 15) memperkenalkan gagasan “Kanaan,” Tanah Perjanjian (Kej. 12: 5), sebuah antisipasi terhadap cerita Abraham, yang berkatnya akan diberikan kepada semua bangsa (Kej. 12: 3).
Namun demikian, garis itu diputus oleh Menara Babel (Kej. 11: 1-9). Sekali lagi, rencana Tuhan untuk umat manusia terganggu. Apa yang seharusnya menjadi berkah, kelahiran semua bangsa, menjadi kesempatan lain untuk datangnya kutukan lain. Bangsa-bangsa bersatu untuk mencoba mengambil tempat Tuhan; Tuhan menanggapi dengan menghakimi mereka; dan, melalui kebingungan yang diakibatkannya, orang-orang tersebar di seluruh dunia (Kej. 11: 8), dengan demikian memenuhi rencana awal Tuhan untuk “memenuhi bumi” (Kej. 9: 1).
Pada akhirnya, terlepas dari kejahatan manusia, Tuhan mengubah kejahatan menjadi kebaikan; Dia, seperti biasa, memiliki kata terakhir. Kutukan Ham di tenda ayahnya (Kej. 9: 21, 22) dan kutukan bangsa-bangsa yang bingung di Menara Babel (Kej. 11: 9), pada akhirnya, akan berubah menjadi berkah bagi bangsa-bangsa.
Kutukan Ham
Minggu, 24 April 2022
Bacalah Kejadian 9: 18-27. Apakah pesan dari cerita aneh ini?
Tindakan Nuh di kebun anggurnya mengingatkan kita terhadap Adam di Taman Eden. Kedua cerita itu mengandung motif umum: memakan buah dan mengakibatkan ketelanjangan; kemudian penutup tubuh, kutukan, dan berkah. Nuh terhubung kembali ke akar Adam dan, sayangnya, melanjutkan sejarah yang gagal itu.
Fermentasi buah bukanlah bagian dari ciptaan asli Tuhan. Nuh menuruti keinginannya, kemudian kehilangan kendali diri dan menelanjangi dirinya sendiri. Fakta bahwa Ham “melihat” ketelanjangannya mengisyaratkan Hawa, yang juga “melihat” pohon terlarang (Kej. 3: 6). Parallel ini tidak hanya menunjukkan bahwa Ham “melihat” secara diam-diam, secara tidak sengaja, ketelanjangan ayahnya. Dia berkeliling dan membicarakannya, bahkan tanpa mencoba untuk menyelesaikan masalah ayahnya. Sebaliknya, reaksi langsung saudara-saudaranya untuk menutupi ayah mereka, sementara Ham membiarkannya telanjang, secara tersirat mencela tindakan Ham tersebut.
Masalah yang dipertaruhkan di sini lebih tentang rasa hormat kepada orang tua. Kegagalan untuk menghormati orang tua Anda, yang mewakili masa lalu Anda, akan mempengaruhi masa depan Anda (Kel. 20: 12; bandingkan dengan Ef 6: 2). Oleh sebab itu kutukan itu diberikan yang akan mempengaruhi masa depan Ham dan putranya Kanaan.
Tentu saja, adalah kesalahan teologis yang besar dan kejahatan etis menggunakan ayat ini untuk membenarkan teori rasisme terhadap siapa pun. Nubuatan ini sangat terbatas untuk Kanaan, putra Ham. Penulis Alkitab menuliskan beberapa praktik korup orang Kanaan (Kej. 19: 5-7, 31-35).
Selain itu, kutukan tersebut mengandung janji berkah, dikaitkan dengan nama “Kanaan”, yang berasal dari kata kerja kana’, yang berarti “menaklukkan”. Melalui penaklukan Kanaan, umat Allah, keturunan Sem, akan memasuki Tanah Perjanjian dan mempersiapkan jalan untuk kedatangan Mesias, yang akan memperbesar Yafet “di kemah-kemah Sem” (Kej. 9: 27). Ini adalah kiasan nubuatan untuk perluasan perjanjian Allah ke semua bangsa, yang akan mencakup pekabaran Israel tentang keselamatan kepada dunia (Dan. 9: 27, Yes. 66: 18-20, Rm. 11: 25). Kutukan Ham pada kenyataannya akan menjadi berkah bagi semua bangsa, termasuk keturunan Ham dan Kanaan mana saja yang menerima keselamatan yang ditawarkan oleh Tuhan kepada mereka.
Nuh, "pahlawan" Air Bah, mabuk? Apakah yang harus dikatakan di sini tentang betapa cacatnya kita semua dan mengapa kita membutuhkan rahmat Tuhan setiap saat dalam hidup kita?
Silsilah Kejadian
Senin, 25 April 2022
Informasi kronologis tentang usia Nuh membuat kita menyadari bahwa Nuh berfungsi sebagai penghubung antara peradaban sebelum Air Bah dan pasca Air Bah. Dua ayat terakhir dari cerita sebelumnya (Kej. 9: 28, 29) membawa kita kembali ke mata rantai terakhir dari silsilah Adam (Kej. 5: 32). Karena Adam meninggal ketika Lamekh, ayah Nuh, berusia 56 tahun, Nuh pasti pernah mendengar cerita tentang Adam, yang bisa dia sampaikan kepada keturunannya sebelum dan sesudah Air Bah.
Bacalah Kejadian 10. Apakah tujuan silsilah ini di dalam Alkitab? (Lihat juga Luk. 3: 23-38).
Silsilah Alkitab memiliki tiga fungsi. Pertama, ini menekankan sifat historis dari peristiwa-peristiwa alkitabiah, yang terkait dengan orang-orang nyata yang hidup dan mati serta yang hari-harinya dihitung dengan tepat. Kedua, ini menunjukkan kontinuitas penulis dari zaman kuno hingga kontemporer, membangun hubungan yang jelas dengan masa lalu hingga “masa kini”. Ketiga, ini mengingatkan kita pada kerapuhan manusia dan efek tragis dari kutukan dosa dan akibatnya yang mematikan pada semua generasi setelahnya.
Perhatikan bahwa klasifikasi keturunan “Ham”, “Sem”, dan “Yafet” tidak mengikuti kriteria yang jelas. Ke-70 bangsa itu menggambarkan 70 anggota keluarga Yakub (Kej. 46: 27) dan 70 tua-tua Israel di padang gurun (Kel. 24: 9). Gagasan tentang korespondensi antara 70 bangsa dan 70 tua-tua menyarankan misi Israel terhadap bangsa-bangsa: “Ketika Sang Mahatinggi membagi-bagikan milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia memisah-misah anak-anak manusia, maka Ia menetapkan wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel” (Ul. 32: 8). Sejalan dengan itu, Yesus mengutus 70 murid untuk menginjili bangsa-bangsa (Luk. 10: 1).
Apa yang diperlihatkan informasi ini kepada kita adalah hubungan langsung antara Adam dan para leluhur; mereka semua adalah tokoh sejarah, orang-orang nyata dari Adam dan seterusnya. Ini juga membantu kita memahami bahwa para bapa bangsa memiliki akses langsung kepada saksi yang memiliki ingatan pribadi tentang peristiwa kuno ini.
Bacalah Matius 1: 1-17. Apakah yang diajarkan hal ini kepada kita tentang betapa historisnya semua orang ini? Mengapakah mengetahui dan percaya bahwa mereka adalah orang yang nyata penting bagi iman kita?
Satu Bahasa
Selasa, 26 April 2022
Bacalah Kejadian 11: 1-4. Mengapakah orang-orang di "seluruh bumi" begitu ingin mencapai persatuan?
Frasa “seluruh bumi” mengacu pada sejumlah kecil orang, mereka yang hidup setelah Air Bah. Alasan pertemuan ini dengan jelas menunjukkan bahwa mereka ingin membangun menara untuk mencapai surga (Kej. 11: 4). Sebenarnya, niat mereka yang sebenarnya adalah untuk menggantikan Tuhan Sendiri, Sang Pencipta. Secara signifikan, deskripsi niat dan tindakan orang-orang ini menggemakan niat dan tindakan Tuhan dalam kisah Penciptaan: “mereka berkata” (Kej. 11: 3, 4; bandingkan dengan Kej. 1: 6, 9, 14, dll.); “Marilah kita membuat” (Kej. 11: 3, 4; bandingkan dengan Kej. 1: 26). Niat mereka secara eksplisit dinyatakan: “Marilah kita cari nama” (Kej. 11: 4), ekspresi yang secara eksklusif digunakan untuk Tuhan (Yes. 63: 12, 14).
Singkatnya, para pembangun Babel memenuhi ambisinya yang salah tempat untuk menggantikan Tuhan, Sang Pencipta. (Kita tahu siapa yang mengilhaminya, bukan?) Lihat (Yes. 14: 14). Memori Air Bah pasti berperan dalam proyek mereka. Mereka membangun menara tinggi untuk dapat terhindar dari banjir lain, yang akan datang, terlepas dari janji Tuhan. Ingatan tentang Air Bah telah dilestarikan dalam tradisi Babel, meskipun menyimpang, sehubungan dengan pembangunan Kota Babel (Babilon). Upaya ke atas untuk mencapai surga dan merebut Tuhan ini memang akan menjadi ciri semangat Babilon.
Inilah sebabnya mengapa kisah Menara Babel menjadi motif penting dalam kitab Daniel juga. Referensi ke Sinear, yang memperkenalkan kisah Menara Babel (Kej. 11: 2), muncul kembali di awal kitab Daniel, untuk menunjuk tempat di mana Nebukadnezar membawa barang-barang dari Bait Suci Yerusalem (Dan. 1: 2). Di antara banyak bagian lain dari kitab ini, episode Nebukadnezar mendirikan patung emas, mungkin di tempat yang sama di “dataran” yang sama, adalah yang paling menggambarkan kerangka pikiran ini. Dalam penglihatannya tentang akhir zaman, Daniel melihat skenario yang sama dari bangsa-bangsa di bumi berkumpul bersama untuk mencapai persatuan melawan Allah (Dan. 2: 43, Dan. 11: 43-45; bandingkan dengan Why. 16: 15, 16), meskipun upaya ini gagal di sini, seperti yang terjadi pada Babel juga.
Seorang penulis Prancis sekuler terkenal pada abad yang lalu berkata bahwa tujuan besar umat manusia adalah mencoba "menjadi Tuhan". Bagaimanakah dengan kita, dimulai dengan Hawa di Eden (Kej. 3: 5), yang terseret ke dalam kebohongan berbahaya ini?
“Baiklah Kita Turun”
Rabu, 27 April 2022
Bacalah Kejadian 11: 5-7 dan Mazmur 139: 7-12. Mengapakah Tuhan turun ke bumi di sini? Peristiwa apakah yang memotivasi reaksi Ilahi ini?
Ironisnya, meskipun orang-orang berusaha untuk naik, Tuhan harus turun kepada mereka. Turunnya Tuhan adalah penegasan supremasi-Nya. Tuhan akan selalu berada di luar jangkauan kita sebagai manusia. Segala upaya manusia untuk naik kepada-Nya dan bertemu dengan-Nya di surga adalah sia-sia dan konyol. Tidak perlu ditanyakan, itulah sebabnya untuk menyelamatkan kita Yesus datang kepada kita; memang, tidak ada cara lain bagi Dia untuk menyelamatkan kita.
Sebuah ironi besar dalam kisah Menara Babel terlihat dalam pernyataan Tuhan: “melihat kota dan menara” (Kej. 11: 5). Tuhan tidak harus turun untuk melihat (Mzm. 139: 7-12; bandingkan dengan Mzm. 2: 4), tetapi Dia tetap melakukannya. Konsep tersebut menekankan keterlibatan Tuhan dengan umat manusia.
Bacalah Lukas 1: 26-33. Apakah yang diajarkan di sini tentang Tuhan yang turun kepada kita?
Turunnya Tuhan juga mengingatkan kita pada prinsip kebenaran oleh iman dan proses kasih karunia Tuhan. Apapun pekerjaan yang kita lakukan untuk Tuhan, Dia tetap harus turun untuk bertemu dengan kita. Bukan apa yang kita lakukan untuk Tuhan yang akan membawa kita kepada-Nya dan menuju penebusan. Sebaliknya, tindakan Tuhan menuju kita yang akan menyelamatkan kita. Faktanya, dua kali ayat dalam kitab Kejadian berbicara tentang Tuhan yang “turun,” yang sepertinya menyiratkan betapa Dia peduli tentang apa yang terjadi di sana.
Menurut ayat itu, Tuhan ingin mengakhiri persatuan yang tertanam dalam mereka, yang—mengingat keadaan kejatuhan mereka hanya dapat menuntun pada semakin banyak kejahatan. Itulah mengapa Dia memilih untuk mengacaukan bahasa mereka, yang akan mengakhiri skema persatuan mereka.
“Rencana pembangun-pembangun Babel berakhir dengan kekalahan dan rasa malu. Tugu peringatan akan kebanggaan mereka berubah menjadi peringatan akan kebodohan mereka. Namun demikian manusia tetap mengikuti jalan yang sama, bergantung kepada diri dan menolak hukum Allah. Ini adalah yang telah dicoba dijalankan Setan di dalam surga; sama dengan apa yang mendorong Kain dalam mempersembahkan korbannya”—Ellen G. White, Alfa dan Omega, jld. 1, hlm. 134.
Bagaimanakah kita melihat dalam kisah Menara Babel contoh lain dari keangkuhan manusia dan bagaimanakah, pada akhirnya, itu akan gagal? Pelajaran pribadi apakah yang dapat kita ambil dari cerita ini?
Penebusan Orang yang Terasing
Kamis, 28 April 2022
Bacalah Kejadian 11: 8, 9 dan Kejadian 9: 1; bandingkan dengan Kejadian 1: 28. Mengapakah pembubaran Tuhan itu sifatnya menebus?
Rancangan dan berkat Allah bagi manusia adalah bahwa mereka akan “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah serta penuhilah bumi” (Kej. 9: 1; bandingkan dengan Kej. 1: 28). Melawan rencana Tuhan, para pembangun Babel lebih suka tetap bersatu sebagai orang yang sama. Salah satu alasan mereka mengatakan ingin membangun kota itu adalah agar mereka tidak “terserak ke seluruh bumi” (Kej. 11: 4). Mereka menolak untuk pindah ke tempat lain, mungkin mereka berpikir bahwa bersama-sama mereka akan lebih kuat daripada jika terpisah dan terpencar. Dan, di satu sisi, mereka benar.
Sayangnya, mereka berusaha menggunakan kekuatan bersatu mereka untuk kejahatan, bukan kebaikan. Mereka ingin “mencari nama” cerminan kuat dari kesombongan dan kebanggaan mereka sendiri. Memang, setiap kali manusia, secara terbuka menentang Tuhan, mereka ingin “mencari nama” untuk diri mereka sendiri, kita bisa yakin itu tidak akan berjalan dengan baik. Tidak pernah terjadi.
Oleh karena itu, dalam penghakiman atas pembangkangan langsung mereka, Tuhan menyebarkan mereka “diserakkan ke seluruh bumi” (Kej. 11: 9), persis seperti apa yang mereka tidak kehendaki.
Yang cukup menarik, nama Babel, yang berarti “pintu Tuhan,” terkait dengan kata kerja balal, yang berarti “mengacaubalaukan” (Kej. 11: 9). Karena mereka ingin mencapai “pintu Tuhan”, karena mereka menganggap diri mereka sebagai Tuhan, sehingga mereka akhirnya bingung dan menjadi jauh lebih lemah dari sebelumnya.
“Orang-orang. Babel telah bertekad untuk mendirikan satu pemerintahan yang terlepas dari Allah. Namun demikian ada beberapa di antara mereka yang takut akan Tuhan tetapi telah tertipu oleh sifat pura-pura dari orang-orang jahat, dan tertarik kepada muslihat mereka. Demi untuk orang-orang yang setiawan ini, Tuhan telah menunda hukuman-Nya dan memberikan kepada mereka kesempatan untuk menyatakan tabiat mereka yang sebenarnya. Apabila rencana-rencana mereka sedang berkembang, anak-anak Allah berusaha untuk mencegah mereka dari maksud mereka itu; tetapi orang banyak itu telah bersatu padu untuk menentang surga. Kalau saja mereka itu harus dibiarkan, mereka akan merusakkan akhlak dunia ini pada masa permulaannya. Permufakatan mereka itu didasarkan atas pemberontakan; satu kerajaan didirikan untuk kemegahan diri, di mana Allah tidak dihormati dan tidak diakui kekuasaan-Nya”—Ellen G. White, Alfa dan Omega, jld. 1, hlm. 133.
Mengapakah kita harus sangat berhati-hati dalam mencari "nama" untuk diri kita sendiri?
Pendalaman
Jumat, 29 April 2022
Bacaan tulisan Ellen G. White, "Menara Babel," hlm. 128-135, dalam Alfa dan Omega, jld. 1.
“Di tempat ini mereka bermaksud untuk mendirikan sebuah kota besar dan di dalamnya sebuah menara yang begitu tinggi … Usaha ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan orang banyak itu tersebar luas dalam kelompok-kelompok. Tuhan telah memerintahkan mereka untuk pergi tersebar luas di seluruh permukaan bumi ini, untuk memenuhi dan berkuasa atasnya; tetapi pembangun-pembangun menara Babel ini bertekad untuk membentuk satu masyarakat yang tergabung dalam satu badan, dan membangun satu kerajaan yang akhirnya akan mencakup seluruh dunia ini. Dengan demikian kota mereka itu akan merupakan satu kota metropolitan dari pada kerajaan dunia itu; kemuliaannya akan membuat dunia mengaguminya dan menghormatinya dan menjadikan pembangun-pembangunnya sebagai orang-orang yang termasyhur. Menara yang megah ini, yang puncaknya menjulang ke angkasa dimaksudkan sebagai satu tugu peringatan akan kekuasaan dan kebijaksanaan pembangun-pembangunnya, dan mengabadikan kemasyhuran mereka kepada generasi mendatang.”
“Penduduk dataran Sinear tidak mempercayai perjanjian Allah bahwa Ia tidak akan lagi mendatangkan air bah ke atas dunia ini. Banyak dari antara mereka yang menyangkal adanya Allah, dan mengatakan bahwa air bah adalah sebab akibat oleh alam ini. Yang lain percaya akan satu pribadi yang berkuasa, dan Dialah yang telah membinasakan bumi dengan air bah; dan hati mereka seperti Kain, bangkit dalam pemberontakan melawan Dia. Satu tujuan yang ada di hadapan mereka dalam membangun menara ini ialah untuk menjaga keselamatan mereka seandainya air bah yang lain datang melanda. Dengan mendirikan sebuah menara yang puncaknya jauh lebih tinggi daripada yang dicapai oleh air bah, mereka pikir mereka akan terhindar dari segala kemungkinan bahaya yang timbul, dan apabila mereka dapat naik tinggi ke awan-awan, mereka harap akan dapat memastikan apa yang menyebabkan Air Bah itu. Segala usaha ini dimaksudkan untuk mengangkat lebih tinggi lagi kebanggaan para pembangunnya, dan memalingkan pikiran generasi mendatang dari Allah, dan menuntun mereka kepada penyembahan berhala”—Ellen G. White, Alfa dan Omega, jld. 1, hlm. 130, 131.
Pertanyaan-Pertanyaan untuk Diskusi:
1. Contoh apakah yang kita miliki dari sejarah, atau bahkan dari masa kini, akan masalah yang bisa datang dari mereka yang berusaha untuk mencari nama untuk diri mereka sendiri?
2. Bagaimanakah kita, sebagai sebuah gereja, dapat menghindari bahaya, bahkan secara tidak sadar, untuk berusaha membangun Menara Babel kita sendiri? Dengan cara apakah kita sebenarnya berusaha melakukan ini, bahkan secara tidak sadar?
1 thought on “Semua Bangsa dan Babel”